Penganggaran berbasis kinerja bukan suatu hal yang baru kita jumpai, komitmen ini sudah lama diikrarkan, sejak PP 58/2005 dikeluarkan dan diimplementasikan dalam pelaksanaannya dengan juknisnya melalui Permendagri 13/2006. Bahkan saat penyusunan tesis program pasca sarjana saya pun mengambil topik tentang implementasi Permendagri 13/2006 tersebut dikaitkan dengan kesiapan sumber daya manusia nya. Jadi sudah berjalan kurang lebih 9 tahun amanah ini diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Namun dalam prakteknya, apakah amanah tersebut sudah dijalankan (salah satunya untuk melaksanakan penganggaran berbasis kinerja) ?
Apakah Anggaran Berbasis Kinerja ? Anggaran Berbasis Kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan. Manfaat tersebut dideskripsikan pada seperangkat tujuan dan sasaran yang dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja. Anggaran Berbasis Kinerja yang efektif akan mengidentifikasikan keterkaitan antara nilai uang dan hasil, serta dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan tersebut dapat terjadi yang merupakan kunci pengelolaan program secara efektif. Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan, serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. Jika terjadi perbedaan antara rencana dan realisasinya, dapat dilakukan evaluasi sumber-sumber input dan bagaimana keterkaitannya dengan output/outcome untuk menentukan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program.
Ada instrument yang harus dipenuhi dalam mewujudkan anggaran berbasis kinerja, sebagaimana diisyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 167 ayat 3, menyebutkan “Belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Hal yang sama juga diisyaratkan PP 58 Tahun 2005 pasal 39 ayat (2), “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga dan standar pelayanan minimal”. Dipertegas lagi dalam Permendagri 13 Tahun 2006, pasal 93 ayat (1) menyebutkan bahwa penyusunan RKA SKPD berdasarkan prestasi kerja, indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga dan standar pelayanan minimal. Dari ketiga peraturan perundangan di atas, dapat disimpulkan bahwa 5 (lima) elemen utama/wajib dalam perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja adalah : 1. Analisis Standar Belanja, 2. Standar Pelayanan Minimal, 3. Indikator Kinerja, 4. Target Kinerja, 5. Standar Satuan Harga.
Bagaimana implementasi di seluruh Pemerintah Daerah, apakah sudah melaksanakan/mempunyai 5 (lima) elemen utama tersebut? Hampir semua Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja nya, baru mempunyai 4 (empat) instrument, minus analisis standar belanja (ASB). Sementara keberadaan ASB sendiri (sebenarnya) merupakan harga mati, yang tidak bisa ditawar lagi oleh Pemerintah Pusat (sekalipun) ataupun Pemerintah Daerah. Karena fungsi ASB sebagai alat untuk mengukur efektivitas kegiatan, bukan layanan (apa) atau pihak yang dilayani (siapa). Sebagai instrument penilai terhadap kewajaran beban kerja usulan program atau kegiatan yang dikaitkan dengan kebijakan anggaran, komponen dan tingkat pelayanan yang akan dicapai, jangka waktu pelaksanaanya serta kapasitas SKPD untuk melaksanakannya. Tanpa melihat siapa SKPD yang mengusulkan dan apa nama kegiatannya. Senyampang kegiatannya sama, beban kerjanya sepadan, maka total anggaran untuk kegiatan tersebut pastilah sama. Semakin besar beban kerjanya, semakin besar total anggarannya. Anggaran diberikan pada setiap SKPD sesuai dengan rencana anggaran belanja yang dibuat berdasarkan analisis standar belanjanya, standar satuan harga, bukan dari plotting anggaran oleh TAPD, seperti praktek yang selama ini masih dilakukan oleh sebagian besar Pemerintah Daerah, yang justru masih mencerminkan masalah klasik penyusunan anggaran. Yaitu penetapan program/kegiatan dari hasil copy paste tahun sebelumnya (line item), besaran anggaran ditetapkan dari penambahan sekian persen dari tahun sebelumnya atau dengan intuisi/kira-kira (incremental), dan besaran anggaran setiap SKPD masih bersifat subyektif; dipengaruhi oleh nama kegiatan dan siapa yang mengajukan.
Melihat fungsi urgen analisa standar belanja yang dipersyaratkan dalam beberapa peraturan perundangan diatas, sudah selayaknya Pemerintah Daerah mulai menyusun strategi untuk mewujudkannya. Karena dengan ASB dapat memberikan kepastian terjaganya hubungan antara input (dana) dengan output (target kinerja). Ada banyak manfaat yang diperoleh oleh Pemerintah Daerah dengan mempunyai ASB, diantaranya : 1. Penetapan plafon anggaran menjadi obyektif (tidak lagi berdasarkan intuisi), 2. Dapat menentukan kewajaran biaya dalam melaksanakan suatu kegiatan, 3. Meminimalisir terjadinya pengeluaran yang kurang jelas dan sudah pasti menyebabkan inefisiensi anggaran, 4. Penentuan anggaran berdasarkan pada tolok ukur kinerja yang jelas, 5. Penentuan besaran alokasi setiap kegiatan menjadi obyektif, 6. Memiliki argument yang kuat jika “dituduh”melakukan pemborosan oleh auditor eksternal (baca: BPK), 7. Penyusunan anggaran menjadi lebih tepat waktu.
Ada banyak hal yang mendasari mengapa dari 328 Kabupaten dan 53 Kota di Indonesia, baru sekitar 34 Kabupaten/Kota/Provinsi yang memiliki ASB. Sebagai catatan, untuk Jawa Timur ada Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Banyuwangi. Salah satu alasan mengapa belum seluruh Pemerintah Kabupaten menerapkan ASB dalam penganggaran berbasis kinerja , sebagaimana yang dikemukan oleh Prof.Dr. Abdul Halim, M.B.A, Akt, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam sesi diklat penganggaran berbasis kinerja beberapa waktu yang lalu, adalah adanya “resist to change”atau penolakan untuk berubah karena berbagai alasan. Diperlukan komitmen yang kuat dari pengambil kebijakan dari setiap Pemerintah Daerah dalam menyusun ASB dan tentu saja dalam menjalankan penganggaran berbasis kinerja dengan tolok ukurnya. Bahkan mungkin diperlukan adanya rewards dan punishment dari Pemerintah Pusat untuk Pemerintah Daerah yang telah mempunyai ASB. Sebagaimana rewards berupa pemberian insentif bagi Pemerintah Daerah yang 3 (tiga) kali berturut-turut meraih opini atas laporan keuangan nya Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan punishment bagi Pemerintah Daerah yang terlambat dalam penetapan APBD nya dengan pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU). Jika itu diterapkan, saya yakin akan banyak Pemerintah Daerah yang segera serius menyusun ASB nya dengan berbagai konsekuensinya. Dengan begitu, kita tidak perlu lagi mempertanyakan apakah penganggaran kita selama ini telah berbasis kinerja, atau hanya “berbaju” kinerja? Semoga !!
Ditulis oleh : Retno Dewi Trilasdjoe
Staf pada Bagian Umum dan Keuangan
Sangat Puas
0 % |
Puas
0 % |
Cukup Puas
0 % |
Tidak Puas
0 % |